Sabtu, 19 Mei 2012

penyelesaian sengketa batas landas kontinen dikawasan blok ambalat antara Indonesia dengan Malaysia

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang dibuktikan dengan wilayah Indonesia yang lebih di dominasi wilayah perairannya dan Indonesia sebagai negara kepulauan sesuai dengan United Nation Conventions on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 pasal 46A tentang negara kepulauan dan pasal 46B tentang kepulauan, dengan jumlah pulau di Indonesia yang sangat banyak yaitu sekitar 17.499 pulau serta mempunyai garis pantai yang panjangnya mencapai 80.250km . Sebelum lahirnya UNCLOS 1982 indonesia memiliki pengaturan tentang daerah laut wilayah yang dimiliki Indonesia yaitu konsepsi Negara Kepulauan ditandai dengan lahirnya Deklarasi Juanda pada 13 desember 1957 yang berisi :
bahwa segala perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak dari negara republik Indonesia.
Lalu lintas damai diperairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari gari-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau negara republik Indonesiaakan ditentukan dengan undang-undang. Jadi lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12 mil diukur dari garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluas .


Inilah yang dinamakan konsepsi wawasan nusantara, konsepsi nusantara yang bertujuan untuk menjamin kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Indonesia.Konsepsi baru ini diperkokoh dengan UU No.40 tahun 1960 dilengkapi dengan PP No.8 tahun 1982 tentang lalu lintas damai kendaraan air asing dalam perairan Indonesia dan Kepres No. 16 tahun 1971 tentang wewenang pemberian ijin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan Indonesia.Setiap negara maritim atau pun negara yang berbatasan langsung dengan laut mempunyai hak dan kewajiban terhadap wilayah laut yang dimiliki, wilayah laut dibagi atas beberapa zona antara lain:
1. Laut Teritorial : bagian laut yang wilayahnya paling dekat dengan daratan panjanganya 12 mil di ukur dari garis pangkal
2. Zona Tambahan : merupakan zona yang terdekat dari laut teritorial yang mempunyai lebar 24 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial
3. Zona Ekonomi Eksklusif : merupakan bagian laut yang terletak di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil di ukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial
4. Landas Kontinen : merupakan daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen (kontinental margin) sampai jarak 200 mil laut di ukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Di daerah landas kontinen hukum yang berlaku meruapakan hukum Laut Internasional oleh karena letak landas kontinen di luar laut teritorial atau di bawah Zona Ekonomi Eksklusif dan/atau laut lepas maka landas kontinen bukan merupakan bagian wilayah negara pantai. Dalam landas kontinen negara pantai mempunyai hak dan kewajiban menurut R.R. Churchill dan A.V. Lowe sebagai berikut:
a. berkenaan dengan hak negara pantai terhadap sumber daya alam hayati(living Resources)
b. berkenaan dengan eksploitasi sumber daya alam nabatai(non-living resources)
c. negara pantai memiliki hak terbatas mengenai melakukan pengawasan atas kegiatan penelitian ilmiah(research) yang ada di landas kontinen.
Hal lain yang rumit dalam masalah di landas kontinen adalah mengenai penentuan garis batas landas kontinen antara dua negara atau lebih baik antara negara yang letaknya berdampingan maupun yang berhadapan. Hal ini dikarenakan juga letak geografis negara pantai atau negara kepulauan yang memiliki landas kontinen yang rumit dikarenakan konfigurasi pantai yang tidak terstur dan kadang juga tumpang tindih yang sulit untuk menentukan garis batas landas kontinennya. Dan juga stuktur geologi dari dasar laut dan tanah dibawahnya yang kompleks ini juga yang mengakibatkan kesulitan dalam menentukan garis batas landas kontinen antar kedua negara atau lebih yang letaknya berdampingan atau berhadapan, dalam konvensi hukum laut 1982 telah diatur juga mengenai engaturan garis batas landas kontinen dalam pasal 83 yang terdiri dari 4 ayat. Batas Landas Kontinen Indonesia dan malaysia sebenarnya telah di atur dalam Agreement between the government of the republic of Indonesia and the government of Malaysia relating to the delimitation of the continental shelves between the two countries 1969 yang di tandatangani oleh Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur kemudian di sahkan oleh pemerintah Indonesia dengan Kepres No.89 Tahun 1969. Secara umum Indonesia dan Malaysia telah menetapkan garis batas landas kontinennyadi dua kawasan yaitu kawasan selat malaka dan di kawasan laut cina selatan.
Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang mempunyai perbatasan laut langsung dengan sepuluh(10) negara yaitu: Malaysia, Singapura, Australia, Timor Leste, Filiphina, Thailand, Vietnam, India dan Papua Nugini. Dari sepuluh negara ini Indonesia mempunyai batas laut terbanyak dengan negara malaysia. Proses pengukuran batas laut yang digunakan Indonesia dengan malaysia adalah dengan menggunakan Base Point yang merupakan cara yang digunakan jika kedua negara berbatsan lansung wilayah lautnya karena tidak mungkin jika kedua negara tersebut mengklaim semua Zona Maritimnya (laut teritorial, ZEE, Landas Kontinen), hal ini yang sering menjadi masalah antar negara yang berdampingan batas lautnya misalnya antara Indonesia dan Malaysia mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif, dalam ketetuan umum yang tercantum dalam Memorandum Pengertian Bersama tersebut pada hakekatnya adalah sesuai dengan perumusan pasal 47 ayat 7 Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut ke III yang menentukan bahwa :
Apabila suatu bagian tertentu dari perairan kepulauan suatu negara kepulauan terletak di antara dua bagian dari suatu negara tetangga dekat, maka hak-hak dan kepentingan-kepentingan sah yang dimiliki oleh negara tersebut belakangan dan yang telah dimilikinya secara tradisional dalam perairan demikian serta segala hak yang ditetapkan dalam suatu perjanjian antara negara-negara demikian harus tetap berlaku dan dihormati.

Sejarah perkembangan hukum laut internasional adalah di mulainya perundingan-perundingan tentang masalah laut yang ada di dunia internasional, perundingan ini dimulai dengan munculnya masalah sejak awal yg menjadi soal utama dalam hukum laut adalah apakah laut itu dapat dimiliki oleh suatu negara ataukah tidak. Untuk mengetahui mengenai apakah laut dapat atau tidak di miliki pada zaman itu berkembang konsep Res Nulius : yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, oleh karenanya dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara dan konsep Res Communis : yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, oleh karenanya tidak dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara. Pada konfrensi hukum laut yang pertama ini tidak ditemuai kesepakatan mengenai abtas laut teritorial. Kemudian di lanjutkan dengan konfrensi yang berlangsung di Den Haag Belanda pada tahun 1930 menghasilkan beberapa prinsip yang di pakai sampai saat ini yaitu:
a. Hak kebebasan berlayar di laut bebas
b. Kedaulatan negara pantai atas wilayah lautnya
c. Hak Innocent Passage (hak lintas damai) di laut wilayah dan hak Hot Pursuit(pengejaran seketika) di laut bebas.
Namun pada konfrensi ini belum berhasil menyelesaikan masalah utamanya yaitu mengenai lebar laut wilayah karena dalam konfrensi ini terdapat perbedaan pendapat antara para peserta konfrensi.Pada konfrensi kedua ini pun tidak dicapai kesepakatan menenai batas laut wilayah teritorial kemudian pada tahun1958 diakan konfrensi di jenewa yang menghasilkan 4 buah konvensi yaitu:
a. Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone
b. Convention on the high seas
c. Convention on fishing and conservation of the living resources of the high seas
d. Convention on continental shelf
Namun dalam konfrensi ini juga belum di sepakati mengenai lebar laut wilayah negara, ada perbedaan yang mendasar antara negara maritim dan negara berkembang, negara maritim menghendaki lebar laut wilayah 3 mil sedangkan Negara berkembang 12 mil. Pada tahun 1960 diadakan konfrensi hukum laut yang kedua dikarenakan kegagalan konfrensi Jenewa 1958 dalam menghasilkan kesepakatan mengenai batas laut wilayah di suatu Negara.Pada awal tahun 1973 PBB menggagas untuk menyelenggarakan kembali konfrensi hukum laut, konfrensi ini berlangsung dari Tahun 1973-1982 yang menghasilkan draf mengenai hukum laut yang dikenal dengan United Nation Conventions Law Of the Sea (UNCLOS) 1982, dan konvensi inilah yang dipakai dalam menangani masalah kelautan yang terjadi. Di Indonesia sendiri UNLOS’82 ini diratifikasi dengan keluarnya UU No.17 tahun 1985. Setelah lahirnya United Nation Conventions On the law of the Sea (UNCLOS) 1982 semakin berkembang hukum laut yang ada di dunia internasional dan semakin banyak masalah laut yang muncul.
Masalah laut yang timbul lebih banyak tentang pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif dan laut teritorial yang batas lautnya berdampingan, seperti yang terjadi di Indonesia dan Malaysia. Masalah ini timbul karena perebutan wilayah ambalat dan ambalat timur(sebutan Indonesia) atau blok minyak XYZ(sebutan Malaysia) antara Indonesia dan Malaysia. Dua Negara ini telah memberi konsensi ekplorasi blok ambalat kepada perusahaan minyak yang berbeda, Indonesia memberikan ijin pada ENI(Italia) dan Uncoal(USA) sementara Malaysia memberikan ijin pada Shell untuk melakukan ekpolitasi minyak pada blok ambalat/ blok minyak XYZ dengan demikian pada blok ambalat terjadi tumpang tindih klaim area antara Indonesia dan Malaysia yang mempunyai wilayah laut yang berdampingan. Klaim tumpang tundih yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia bukan merupakan hal yang istimewa, hukum Laut Internasional memberikan hak kepada Negara pantai untuk memiliki luas laut wilayah selebar 12 mil zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen seluas 200 mil laut yang di ukur dari garis pangkalnya bisa juga landas kontinen suatu Negara pantai mencapai 350 mil laut jika dapat dibuktikan adanya kepanjangan alamiah dari daratan Negara pantai tersebut. Masalah lain dari blok ambalat adalah Malaysia menarik garis batas laut seperti yang digunakan oleh Negara kepulauan sedangkan Malaysia bukan Negara kepulauan, Malaysia juga perpeganga pada pasal 121 UNCLOS’82 yang berbunyi :” tiap pulau berhak mempunyai laut territorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya”
Landas Kontinen menurut UNCLOS’82 adalah daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada diluar laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan samapai batas terluar tepian kontinen(kontinen margin) atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial jika sisi terluar kontinen tidak mencapai jarak tersebut .
Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa penyelesain sengketa masalah blok amabalat yang berada diwilayah landas kontinen Indonesia harus segera diselesaikan untuk tetap menjaga hubungan baik antara negara Indonesia dan malaysia. Dalam hal ini terliahat bahwa kajian mengenai masalah ini perlu ada sehingga penulis berinisyatif untuk melakukan pengkajian terhadap ”Penyelesaian Sengketa Landas Kontinen di Kawasan Blok Ambalat Antara Indonesia dan Malaysia”




B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa penyebab utama dari sengketa di kawasan Blok Ambalat antara Indonesia dan malaysia?
2. Bagaimana ketentuan hukum untuk menyelesaikan masalah sengketa di kawasan Blok Ambalat?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami dan menelaah suatu permasalahan. Adapun tujuan dari penelitian ini:
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis apa yang menjadi penyebab utama terjadinya sengketa di kawasan Blok Ambalat antara Indonesia dan malaysia.
2. Untuk mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan hukum laut internasional yang mengatur panyelesaian sengketa di kawasan blok ambalat.








D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat dan/atau menambah kontribusi dalam pengembangan keilmuan di bidang hukum khususnya hukum laut internasional. Berkaitan dengan pengaturan landas kontinen antar negara yang wilayah lautnya berdampingan atau berhadapan suapaya dapat diperkecil celah terjadinya sengketa batas landas kontinen antar negara.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi kajian dari pemerintah dalam upaya menyelesaikan sengketa batas landas kontinen antar negara.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan semangat baru bagi para utusan negara Indonesia yang bertugas dalam menyelesaikan sengketa batas landas kontinen antar negara
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta pengetahuan lengkap dan baru pada masyarakat agar peduli terhadap permasalahan batas landas kontinen yang terjadi antar Indonesia dengan Malaysia.
d. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi penulis sendiri untuk mengasah kemampuan penulis dalam menganalisa suatu permasalahan dan peraturan perundang-undangan atau konvensi internasional yang telah menjadi hukum positif di Indonesia.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyelesaian Sengketa Secara Damai
Suatu prinsip yang dikenal masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa adalah prinsip penyelesaian sengketa secara damai dalam hal ini dituangkan dalam pasal 1 konvensi Den Haag Tahun 1907 yang dimasukkan kedalam piagam PBB pasal 2 ayat 3 yang berbunyi: ” all members shall settle their internasional disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security and justice are not endangered”. Kemudian prinsip ini dijabarkan lagi dalam pasal 33 piagam PBB yaitu:
”para pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut akan membahayakan keamanan dan perdamaian Internasional harus pertama-tama mencari penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi , penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbritase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasi-organisasi atau badan-badan regional atau cara-cara penyelesaian sengketa secara damai yang mereka pilih.”

Dari prinsip-prisip dasar yang telah ada dalam piagam PBB, United Nation Conventions On the Law of the sea 1982 juga mengadopsi prinsip penyelesaian sengketa secara damai yang tertuang dalam pasal 279 :
” bahwa negara-negara para pihak harus menyelesaikan sengketa diantara meraka mengenai interpretasi atau penerapan konvensi ini dengan cara-cara damai sesuai dengan pasal 2 ayat 3 dari piagam PBB dan untuk tujuan ini akan mencari solusi dengan cara yang ditujuk pasal 33 ayat 1 dari piagam PBB” .

Dalam proses penyelesaian sengketa secara damai ada beberapa prinsip yang harus dilakukan oleh tiap negara anggota yaitu:
a. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
Merupakan prinsip yang fundamental dalam berbagai proses penyelesaian sengketa antar negara. Pada prinsip ini mensyaratkan agar itikad baik merupakan dasar dari para pihak dalam proses penyelesaian sengketa mereka. Dalam proses penyelesaian sengketa prinsip ini dibagi dalam dua tahap yaitu:
1). prinsip itikad baik mensyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan baik antar negara.
2). Prinsip ini disyaratkan harus ada dalam penyelesaian sengketa antar negara melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal oleh hukum internasional.
b. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini juga sangat penting dalam penyelesaian sengketa internasional, dalam prinsip ini tiap negara dilarang menggunakan kekerasan dalam tiap penyelesaian sengketanya.
c. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesain sengketa
Prinsip penting lainnya adalah dimana para pihak memiliki kebebasan penuh dalam menentukan dan memilih cara untuk bagaiman sengketa itu di selesaikan (Principle of free choice of means) prinsip ini termuat dalam pasal 33 ayat 1 piagam PBB.

d. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan Terhadap Pokok Sengketa
Kebebasan para pihak ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono), ini merupakan sumber dari pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan dan kelayakan.
Dalam sengketa antar negara ini merupakan hal yang umum bagi pengadialn internasional misalnya Mahkamah Internasional untuk menerapkan hukum internasional walaupun penerapan hukum internasional tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak.
e. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa merupakan prinsip yang fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Perinsip ini merupakan dasar bagi pelaksanaan prinsip ke 3 dan ke 4.
f. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Menurut prinsip ini sebelum para pihak yang bersengketa mengajukan perkaranya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu di tempuh.



g. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan dan Integritas wilayah negara
Pada prinsip ini mensyaratkan bahwa negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lain berdasarkan prinsip fundamental integritas wilayah negara.
Dalam dunia Internasional ada beberapa cara dalam menyelesaikan sengketa Internasional secara damai yaitu:
a. Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling mendasar dan paling tua yang digunakan dalam pergaulan dunia internasional . Penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi merupakan cara yang awal ditempuh dalam menyelesaikan sengketa antara para pihak. Negosiasi dapat dilakukan melalui saluran diplomatik pada konfrensi internasional atau dalam satu lembaga atau organisasi Internasional.
Cara negosiasi ini dapat digunakan untuk menyelesaikan segala bentuk sengketa antara lain sengketa ekonomi, sengketa hukum, sengketa politik, dan sengketa wilayah negara.
Kelemahan dari sistem negosiasi dalam penyelesaian suatu sengketa adalah:
1). Apabila kedudukan para pihaknya tidak seimbang, salah satu pihak memiliki posisi yang kuat akan menekan pihak yang posisinya lebih lemah. Hal ini yang biasanya membuat proses negosiasi menjadi terhambat.
2). Proses berjalannya proses negosiasai cenderung lambat dan memakan banyak waktu. Hal ini biasanya dikarenakan permasalahan antar negara yang timbul merupakan masalah yang penting misalnya mengenai masalah perbatasan antar negara Indonesia dan Malaysia.
3). Jika salah satu pihak terlalu keras pada pendiriannya dan tidak mau melakukan negosiasi secara baik, keadaan seperti ini membuat lamban bahkan membuat berhentinya proses mediasi.
Segi positif dari proses negosiasi yaitu:
1). Para pihak sendiri yang melakukan proses negosiasi secara langsung.
2). Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian sengketa secara negosiasi yang mereka inginkan.
3). Para pihak melakukan pengawasan dan pemantauan secara langsung mengenai prosedur penyelesaiannya
4). Proses negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri
5). Dalam negosiasi para pihak berupaya mencari penyelesaian sengketa yang dapat diterima dan memuaskan para pihak.
Manakala dalam satu proses negosiasi ini berhasil biasanya kesepakatan ini di tuangkan dalam suatu dokumen yang mempunyai kekuatan hukum misalnya hasil kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian. Namun jika cara negosiasi ini gagal maka para pihak sepakat menyelesaiakan sengketa ini dengan cara lain yaitu: arbitrase, mediasi, dan konsiliasi.

b. Pencarian Fakta
cara lain dalam penyelesaian sengketa internasional adalah dengan penunjukan suatu badan independen untuk menyelidiki fakta-fakta yang menjadi penyebab sengketa. Tujuan utama dari penunjukan badan independen ini adalah untuk memberikan laporan kepada para pihak mengenai fakta yang ada dan yang ditelitinya. Dalam dunia internasional pencarian fakta ini sering disebut dengan fact-finding atau inquiry. Tujuan dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya dapat digunakan untuk:
1). Membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di antara dua negara
2). Mengawasi pelaksanaan perjanjian internasional
3).Memberikan informasi guna membuat keputusan ditingkat internasional (pasal 34 piagam PBB).
Salah satu aturan dalam hukum internasional yang mengatur mengenai pencarian fakta adalah pasal 9-36 The Hague Convention on The Pacific Settlement of Disputes 1899 dan 1907. pasal-pasal dari konvensi ini mengatur cara penyelesaian sengketa melalui pencaria fakta(fact-finding) dengan membentuk komisi independen yang bertugas mencari fakta. Peranan komisi yang di bentuk ini hanya untuk melaporkan keadaan fakta yang sebenarnya, tidak untuk memberikan rekomendasi tertentu dalam penyelesaian sengketa. Resolusi dewan MU PBB no. 2329(XXII) tahun 1967 menganjurkan agar anggota PBB lebih banyak memanfaatkan prosedur pencarian fakta guna menyelesaikan sengketanya.
Namun proses penyelidikan in sangat jarang digunakan masyarakat internasional, karena fakta-fakta yang melingkupi suatu sengketa biasanya tidak begitu dipersoalkan atau disengketakan selain itu juga karena para pihak yang bersengketa tidak mau begitu saja menerima versi fakta yang dapat oleh komisi yang dibentuk.
c. Jasa-Jasa Baik
Secara ringkas jasa-jasa baik merupakan penyelesaian sengketa melalui keikutsetaan jasa pihak ke-3. menurut Bindschedler jasa baik adalah the involvement of one or more state or an internasional organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement . Tujuan dari jasa baik ini adalah agar kontak langsung di antara para pihak tetap terjamin, yaitu mempertemukan para pihak yang bersengketa agar mau berunding. Cara penyelesaian ini sangat berguna jika kedua Negara tidak mempunyai hubungan diplomatik atau hubungan diplomatik antar Negara telah berakhir.
Keikutsertaan pihak ke-3 memberikan jasa-jasa baik memudahkan pihak yang bersengketa untuk bersama-sama melakukan perundingan diantara mereka. Jasa baik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu technical good offices(jasa baik teknis) adalah jasa baik negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang pihak-pihak yang bersengketa ikut dalam konfrensi atau terlibat dalam konfrensi, tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan antar para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik antar Negara yang bersengketa itu terputus. Sedangkan political good offices (jasa baik politis) adalah jasa baik yang dilakukan oleh Negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti oleh suatu kegiatan negosiasi atau suatu kompensasi. Yang termasuk dalam kategori ini adalah menerima mandat dari Negara lain untuk menyelesaikan suatu masalh tertentu. Jasa baik politis ini misalnya mengembalikan orang-orang kenegara asalnya dan mengawasi pelaksanaan perjanjian internasional.
Dalam hal untuk menawarkan jasa baik ini oleh organisasi internasional, negara, dan perorangan merupakan berasal dari hukum kebiasaan internasional. Dalam hal jasa baik dilaksanakan oleh negara maka sumber hak tersebut ada pada kedaulatan negara untuk menawarkan jasa baik. Hak-hak untuk menawarkan tersebut berlaku juga terhadap pihak-pihak lain untuk menolak tawaran tersebut. Ketentuan yang mengatur jasa baik dapat dilihat melalui perjanjian internasional antara lain: The Hauge Convention on the Pasific Settlement of Internasioal Disputes 1907 dan BAB 6 (pasal 33-38) piagam PBB mengenai pengeturan penyelesaian sengketa secara damai.
d. Mediasi
Mediasi merupakan penyelesaian sengketa melalui pihak ke-3. pihak ketiga disebut juga mediator. Mediator disini adalah negara atau organisasi internasional. Mediator disini bersifat aktif dalam proses negosiasi . Dalam menjalankan fungsinya mediator tidak tunduk pada suatu aturan hukum acara tertentu mediator bebas menentukan bagaimana proses penyelesaian sengketayang akan berlangsung. Tugas mediator tidak hanya mempertemukan kedua pihak yang bersengketa untuk berunding namun juga terlibat dalam setiap perundingan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketadan dapat memberikan saran-saran atau usulan untuk menyelesaikan sengketa. Perjanjian internasional yang mengatur penggunaan mediasi antara lain:
1). Pasal 3 dan 4 The Hague Convention on the Peaceful Settlement of Disputes 1907
2). BAB 6 piagam PBB
3). The General Act for the Pasific Settlement of Internasional Disputes 1949
4). The European Convention for thr Peaceful Settlement of disputes
Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi hamper mirip dengan konsiliasi perbedaanya terlrtak pada mediator yang pada umumnya memberikan usulanya penyelesaian sengketa secara informal dan usulan tersebut didasarkan pada laporan yang diberikan oleh para pihak dan tidak dari hasil penyelidikan sendiri.
f. Konsiliasi
konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa yang bersifat lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak . Komisi yang dibentuk ini bisa berupa komisi ad hoc(sementara) yang berfungsi untuk menetapakan persyaratan yang diterima oleh para pihak namun putusan dari komisi ini tidak mengikat para pihak.
Persidangan komisi ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama sengketa yang diuraikan secar tertulis diserahkan pada badan/lembaga konsiliasi kemudian badan/lembaga ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak .
Hak berdaulat adalah hak untuk melakukan eksploitasi, eksplorasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam di dasar laut dan tanah di bawahnya serta pada perairan diatasnya, demikian pula untuk semua kegiatan yang bertujuan ekonomis pada zona tersebut.
Kedaulatan menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah sifat atau ciri hakiki dari negara dimana negara itu berdaulat (memiliki Kekuasaan Tertinggi) tetapi mempunyai batas-batas yaitu ruang berlakunya negara itu, diluar wilayahnya negara itu tidak lagi memiliki kekuasaan yang demikian. Kedaulatan dibagi menjadi 2 yaitu:
1). Kedaulatan Intern (ke dalam)
Negara yang memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengurus sendiri kepentingan-kepentingan dalam negeri maupun luar negeri. Di Negara Indonesia kedaulatan tercantum dalam pasal 25A UUD 1945 kedaulatan intern Negara Indonesia adalah Indonesia sebagai Negara kepulauan yang berciri nusantara.Kedaulatan Negara Indonesia tercermin dengan adanya konsep mengenai wawasan nusantara.
2). Kedaulatan Ekstern (ke luar)
Kemampuan negara dalam mengadakan hubungan dengan negara lain atau dengan subyek hukum internasional lainnya, dalam wujud kerjasama di berbagai bidang kehidupan yang saling menguntungkan. Kedaulatan ekstern Negara Indonesia terdapat pada pasal 11 dan 13 UUD 1945 yang mengatur mengenai peerjanjian internasional, pengangkatan duta dan konsul dan penerimaan serta penempatan duta dan konsul.
B. Penyelesaian Sengketa Menurut United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS’82)
Penyelesaian sengketa menurut hukum laut internasional sebelum lahirnya United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982(UNCLOS’82) hanya dilakukan dengan penyelesaian sengketa seperti penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal sengketa yang terjadi diselesaikan melalui mekanisme dan institusi peradilan internsional yang telah ada seperti Internasional Court of Justice (ICC) namun setelah lahirnya UNCLOS’82 ini yang juga letah menyediakan sistem penyelesaian sengketa yang tersendiri maka para pihak atau para peserta dalam konvensi ini dipaksa untuk menerima prosedur dari proses penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan konvensi ini. Dengan adanya system penyelesaian tersendiri dari UNCLOS ini maka Negara para pihak jika ada sengketa tidak dapat lagi menunda-nunda untuk menyelesaiakan sengketanya.
Menerut mekanisme konvensi ini, Negara anggota diberikan kebebasan untuk memilih prosedur yang di inginkan sepanjang itu disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Prosedur penyelesaian sengketa yang dimaksud termasuk juga prosedur yang tercantum dalam pasal 33 ayat 1 piagam PBB, mekanisme regional atau bilateral atau melalui perjanjian bilateral. Jika dengan prosedur yang telah disebutkan diatas belum mencapai kesepakatan maka para pihak wajib segera menetapkan cara penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak. Jika dalam tahap ini juga masih tidak disepakati maka para pihak harus menjalankan prosedur yang terdapat dalam annex VI konvensi ini. Namun hak ini juga belum mencapai kata sepakat para pihak maka diterapakan prosedur selanjutnya yaitu menyampaikan masalah atau sengketa ini kesalah satu badan peradilan internasional yang disediakan oleh konvensi ini yaitu:
1. Internasional Tribunal for the Law Of the Sea (ITLOS) untuk hukum laut
2. Internasional Court of Justice (ICC) atau Mahkamah Internasional
3. Tribunal Arbitrase
4. Tribunal Arbitrase Khusus
Internasional tribunal for the Law of the Sea terbentuk pada 1 agustus 1966 dan berkedudukan di Hamburg Jerman yang mempunyai tujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang berhubungan dengan interpretasi dan pelaksanaan konvensi hukum laut 82 . Mahkamah laut internasional ini mempunyai beberapa kompetensi yang di atur dalam pasal 287 UNCLOS’82 serta yurisdiksi atas perselisihan yang diajukan padanya tentang masalh interpretasi dan penerapan ketentuan-ketentuan konvensi ini, serta semua hal yang diterapkan dalam persetujuan lain yang memberikan yurisdiksi pada mahkamah ini.
Para pihak baru mengajukan perselisihan pada ILTOS setelah kedua belah pihak Negara yang bersengketa setuju untuk mengajukan perselisihannya kepada ITLOS. Perselisihan yang di ajukan kepada ITLOS menggunakan nota tentang persetujuan khusus atau dengan permohonan tertulis kepada ITLOS, kemudian ITLOS menetepakan upaya-upaya sementara untuk menjaga hak-hak para pihak atau untuk mencegah kerusakan lingkunga yang lebih parah. Dalam melakukan persidangannya mahkamah ini terbuka untuk umum dan hadir atau tidaknya para pihak dalam persidangan ini tidak mempengaruhi pemeriksaan dalam sidang ini.
Keputusan dari sidang ITLOS ini diambil dengan system suara terbanyak dari anggota mahkamah yang hadir dengan ketentuan bahwa ketua mahkamah dapat memberikan suara penentu dalam hal terdapat suara sama banyak . Keputusan dari mahkamah menyebutkan alasan-alasan yang dijadikan dasar oleh mahkamah untuk mengeluarkan keputusan tersebut, mahkamah juga dapat memutuskan untuk permohonan dari Negara lain peserta konvensi ini untuk di izinkan sebagai pihak tambahan dalam kasus yang sedang disengketakan tersebut.dalam hal ini keputusan mahkamah mengikat Negara yang terlibat dalam sengketa.
Setiap Negara dalam konvensi ini mempunyai hak untuk turut serta sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal mahkamah ini mengadakan interpretasi atau penerapan dari konvensi ini. Keputusan dari mahkamah merupakan keputusan akhir dari pihak yang berselisih dan para pihak yang terlibat harus menaatinya karena keputusan ini mengikat para pihak yang terlibat dalam sengketa yang diajukan pada mahkamah ini.
C. Landas Kontinen
Dalam United Nation Convention On the Law of the sea 1982 yang lebih dikenal dengan konvensi hokum laut 1982 terdapat 8(delapan) pembagian(rezim) laut yaitu:

Gambar 1 :UNCLOS.
Sumber: diadaptasi dari Arsana dan Schofield (2009). Zona maritim

a. Laut Pedalaman(Internal Water)
Lebar laut territorial diukur dari apa yang disebut dengan garis pangkal dan perairan yang berada pada arah darat dari garis tersebut. Laut pedalam ini dengan demikian batas laut teritorial pada arah kedarat merupakan batas terluar dari perairan pedalaman suatu negara. Garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air terrendah dimana pada saat air rendah tidak ada lagi perairan pedalaman
b. Laut Teritorial (territorial Sea)
pada pasal 2 konvensi hukum laut 1982 menentukan kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya termasuk ruang udara yang berada diatasnya dan dasar laut yang berada dibawahnya. Dalam konvensi hukum laut 1982 kedaulatan negara tetap dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi kapal asing.
Kedaulatan suatu negara pada laut teritorialnya merupakan hal yang mutlak dan eksklusif, diman negara tersebut multak melakukan dan menerapkan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara yang bersangkutan. Yang terpenting adalah kesepakatan tentang batas terluar laut teritorial yaitu 12 mil laut.
c. Zona Tambahan ( Contiguous Zone)
merupakan jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial, Negara pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya sekaligus juga dapat menerapkan hukumnya sesuai pasal 33 konvensi hokum laut 1982.

d. Zona ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona Ekonomi Eksklusif meruapakn daerah diluar laut teritorial yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (pasal 55 dan 57 UNCLOS’82). Pada zonz ini negara pantai mempunyai beberapa hak yaitu:
1) . Hak-hak berdaulat untuk melakuakn eksplorasi, ekploitasi dan konservasi serta pengelolaan segala sumber daya alam didasar laut dan tanah dibawahnya serta yang ada di perairan diatasnya. Demikian pula terhadap segala kegiatan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomi pada zona itu tersebut.
2). Yurisdiksi negara pantai sesuai dengan yang ditepakan dalam konvensi ini, atas pendirian pulau-pulau buatan, riset ilmiah serta perlindungan lingkungan laut.
Pada konvensi ini juga berisi pengaturan mengenai penetapan batas zona ekonomi eksklusif antar negara-negara yang pantainya berhadapan maupun berdampingan. Penetapan batas itu harus ditentukan berdasarkan perjanjian yang sesuai dengan hukum internasional untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang adil. Jika tidak tercapai kesepakatan maka negara-negara harus menyelesaikannya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam konvensi ini mengenai penyelesaian sengketa.
e. Landas Kontinen
menurut konvensi hukum laut 1982 pasal 76 landas kontinen adalah daerah dasar laut dan tanah dibawahnya yang berada diluar laut teritorial yang merupakn kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen atau sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, jika sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut maka batas maksimal menurut konvensi hukum laut 1982 adalah tidak boleh lebih dari 350 mil laut.
Timbulnya prinsip landas kontinen adalah adanya tindakan sepihak Amerika Serikat yang mengeluarkan proklamasi Truman, munculnya proklamasi truman ini menimbulkan reaksi dari negara-negara di dunia yang mengeluarkan proklamasi yang sama mengenai landas kontinen. Pengertian landas kontinen dapat dibagi atas dua pengertian yaitu definisi hukum dan geografis, menurut definisi geografis dasar laut dapat dibagi dua yaitu tepian kontinen(continental margin) dan dasar laut dalam( deep ocean floor) .Definisi hukum landas kontinen dapat mencakup seluruh tepian kontinen yang secara geografis meliputi landas kontinen, lereng kontinen dan kaki kontinen . Di wilayah landas kontinen negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber kekayaan alam di landas kontinennya. Pada landas kontinen yang berada pada batas 200 mil zona ekonomi eksklusif hak-hak tersebut bersamaan dengan hak-hak yang dinikmati berdasarkan pasal 56 konvensi hukum laut.
Landas kontinen suatu negara yang lebarnya lebih dari 200 mil laut dapat diukur batas terluarnya menggunakan 2 metode yaitu:
1). Negara pantai dapat menarik garis diantara titik-titik dimana ketebalan sedimen karang paling sedikit 1%(satu persen) dari jarak terpendek pada titik-titik tersebut dari kaki lereng kontinen
2). Negara pantai dapat menarik garis diantara titik-titik yang ditetapkan yang panjangnya tidak melebihi 60 mil laut dari kaki lereng kontinen
Dalam articel 75 para.5 menyatakan bahwa penarikan batas luar sesuai dengan metode dari articel 74 para. 4 tidak boleh lebih dari 350 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk menentukan lebar laut teritorialatau tidak boleh lebih dari 100 mil laut dari kedalam 2500 meter. Penarikan garis batas luar landas kontinen sebagaimana disebutkan diatas ditarik dengan menghubungkan titik-titik tertentu jarak antar titik tidak boleh lebih dari 60 mil laut (articel 76 para. 7)
Konvensi ini juga menetapkan ketentuan mengenai penetapan batas landas kontinen antara negar-negara yang pantainya berhadapan maupun berbatasan terdapat pada pasal 83 konvensi hukum laut. Dalam landas kontinen negara-negara pantai mempunyai hak-hak yang diatur dalam konvensi hukum laut jenewa 1958 dengan konvensi Hukum laut 1982 .
Landas kontinen sangat kaya akan sumber daya alamnya terutama sumber daya alam mineral bumi yang banyak terdapat pada daerah landas kontinen . Hal ini yang menjadikan negara pantai dan negara lain berebut menikmati kekayaan alam di kawasan landas kontinen dan ini juga yang dapat menimbulkan sengketa antar negara. Negara pantai yang ingin mengajukan landas kontien dapat mengajukan pada Commision on the limits of the Continental Shelf (Komisi Landas Kontinen). Komisi ini beranggotakan 21 orang ahli yang dipilih dari negara-negara konvensi ini, prosedur mengajukan diatur dalam Annex II konvensi hukum laut 1982.
Hak negara pantai atas landas kontinennya tidak tergantung pada kedudukan efektif ataupun nasional. Dalam menjalankan hak-hak dilandas kontinen negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk tuuan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alamnya. Hak ini berarti jika negara pantai tidak melakukan ekplorasi maupun eksploitasi maka negara lain tidak dapat pula melakukan eksploitasi dan eksplorasi tanpa persetujuan tegas negara pantai yang bersangkutan.di dalam landas kontinen terdapat sumber kekayaan alam mineral dan sumber kekayaan alam non-hayati serta organisme yang hidup yang tergolong jenis sedenter adalah organisme yang pada tingkatnya sudah dapat dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau di bawah dasar laut atau tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak fisik tetap denga dasar laut atau tanah dibawahnya. yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawahnya kecuali hak-hak yang telah disebutkan diatas negara pantai juga mempunyai hak eksklusif untuk eksploitasi tanah dibawah landas kontinennya dengan melakukan penggalian terowongan.
Sebaliknya dalam menjalankan haknya di landas kontinen negara pantai tidak boleh menurangi atau mengakibatkan adanya gangguan terhadap pelayaran dan hak serta kebebasan lain misalnya pemeliharaan kabel atau pipa dibawah laut pada landas kontinen negra pantai harus memberikan ijin kepada negara lain jika negara tersebut akan melakukan penelitian ilmiah yang tetap memperhatikan kepentingan seluruh umat manusia di landas kontinen.
Dalam UNCLOS’82 juga diatur mengenai cara-cara penetapan batas-batas landas kontinen antara negara pantai yang satu dengan negara pantai yang lain apabila negar pantai tersebut berhadapan maupun berdampingan satu sama lain. Penetapan garis batas landas kontinen antar negara yang berdampingan maupun berhadapan dilakukan dengan persetujuan atas dasas hukum internasional sebagaiman yang tercantum pada pasal 38 MI dengan suatu panyelesaian sengketa tetap menjunjung tinggi asas keadilan antara para pihak yang bersengketa.
Negara pantai di wilayah landas kontinennya mempunyai yurisdiksi eksekutif sebagai konsekuensi dari hak-hak dan kewenangan dari negara pantai. Yurisdiksi eksekutif ini berupa yurisdiksi untuk membuat peraturan perundang undangan yang diberlakukan di obyek-obyek tersebut, seperti tentang pemeliharaan, perbaikan maupun penambahan ataupun penbatasan lain yang sesuai dengan kepentingan negara pantai ataupun kepentingan negara atau pihak lain yang ada hubungannya dengan obyek yang bersangkutan.
Semua negara di wilayah landas kontinen suatu negara berpantai berhak meletakkan kabel dan pipa dibawah laut di atas landas kontinen. Pemasangan pipa dan kabel dibawah laut ini dapat dilakukan bila negara pantai memberikan ijin untuk pemasangan dan peletakkannya tersebut juga untuk menentukan arah jalannya pemasangan pipa di bawah laut harus mendapat persetujuan negara pantai. Setelah mendapatkan ijin dari negara pantai untuk mengadakan eksploitasi dan eksplorasi maka negara yang mendapat ijin tadi berhak melakukan eksploitasi dan eksplorasi di wilayah landas kontinen negara pantai tersebut. Jika negara selain negara yang diberikan ijin tadi ingin berpartisipasi dalam wilayah landas konrinen negara pantai maka syarat utamanya adalah persetujuan dari negara pantai yang landas kontinennya dipergunakan serta negara lain tersebut harus tetap memperhatikan dan mengambil tindakan yang patut hingga tidak merugikan negara pantai yang landas kontinennya dipergunakan .
Setiap ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di landas kontinen dibawahnya merupakan hak berdaulat suatu negara pantai dan tidak mempengaruhi status hukum perairan diatasnya atau suatu ruang udara diatasnya. Hak berdaulat negara pantai tidak boleh melanggar dan bertentangan dengan navigasi atau hak-hak pelayaran lain yang ada dalam United nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 articel 78. mengenai pengaturan landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif sepintas terlihat sama, namun pada dasarnyahak-hak yang tercantum dalam ketentuan mengenai landas kontinen ditarik garis 2000 mil laut dilaksanankan bersama-sama dengan hak yang dinikmati berdasarkan ketentuan zona ekonomi eksklusif . Ketentuan mengenai landas kontinen berlaku secara independen untuk landas kontinen yang lebih dari 200mil laut negara pantai di wajibkan membayar sejumlah uang dari hasil eksploitasinya terhadap landas kontinen.


f. Kepulauan (Island)
pada pasal 46 konvensi hukum laut 1982 memberikan definisi terhadap kepulauan yaitu kelompok pulau-pulau dan perairan yang menghubungkannya dan saling berkaitan dengan erat sehingga menjadi kesatuan geografis, ekonomi dan politik.
Pada pasal 47 dan 48 konvensi hukum laut 1982 mendefinisikan negara kepulauan sebagai negara yang terdiri dari satu atau lebih kepulauan.untuk menentukan zona maritimnya negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauannya sampai 100 mil laut yang menghubungkan titik-titik paling luar dari pulau paling luar dan batu karang.
g. Laut Lepas (High Sea)
menurut pasal 86 konvensi hukum laut 1982 laut lepas terdapat pada semua bagian laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut territorial, laut pedalaman dan perairan kepulauan. Laut lepas merupakn perairan yang berada diluar 200 mil laut zona ekonomi eksklusif. Laut lepas digunakan untuk maksud-maksud damai dan tidak ada satu negara pun yang dapat mengklaim kedaulatan negaranya di laut lepas ini
h. Dasar samudra dalam
dalam konvensi hukum laut 1982 menetapkan dasar laut dalam iini sengan sebutan kawasan, yang diartikan sebagai dasar laut di luar batas tersebut termasuk landas kontinen suatu negara pantai.
Pada pasal 136 dan 137 konvensi ini memberikan batasan mengenai kawasan dan sumber daya alam yang berada di dalamnya yang meruapakn warisan bersama umat manusia(common heritage of mainkind). Tidak satu negara pun yang dapat menyatakan kedaulatannya ataupun hak berdaulatnya terhadap bagian dari kawasan ini ataupun terhadap sumber kekayaan alamnya.
C. Blok Ambalat
Ambalat adalah blok laut luas mencakup 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Penamaan blok laut ini didasarkan atas kepentingan eksplorasi kekayaan laut dan bawah laut, khususnya dalam bidang pertambangan minyak. Blok laut ini tidak semuanya kaya akan minyak mentah.

Gambar 2: Blok ambalat
dan daerah yang disengketakan
Ambalat adalah kawasan atau sebut saja blok perairan dimana morfologi dasar laut dan bentuk paparannya menjadi bagian dari Cekungan Tarakan. Secara geografis, Blok Ambalat merupakan kelanjutan hamparan benua atau landas kontinen dari tepian Pulau Kalimantan.
Selama jutaan tahun, dasar laut tersebut mengalami poses sedimentasi sekaligus mendapat suplai sedimen dari berbagai fosil fauna laut.
Bersamaan dengan itu, di kawasan ini juga terjadi proses tektonik yang
memisahkan Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan.
Akibatnya, dasar cekungan itu menurun dan membentuk patahan kecil (minor fault) bertingkat membentuk tangga dengan bidang patahan membentuk garis lurus hampir sejajar dengan garis pantai, Karena suplai sedimen dari sistem aliran Selat Sebuku, Selat Sembayung, dan Selat Sesayang yang cukup besar, patahan tersebut tertutup oleh sediment muda (resent sediment).Terisi Sedimen Hidrokarbon Melalui proses geologi yang panjang, cekungan itu terisi sedimen hidrokarbon yang cukup luas dan tebal yang disebut Cekungan Tarakan dan Cekungan Kutai.
Menurut pakar geologi, Prof JA Katili, sebagian dari Cekungan Tarakan membentuk subcekungan Ambalat yang kemudian membentuk suatu kesatuan dan kesamaan ciri dan model diagram seluruh cekungan Kalimantan Timur (diagrammatic stratigraphic succession of East Kalimantan). Fenomena tersebut memberi anugerah yang luar biasa. Survei membuktikan, dasar laut Ambalat menyimpan cadangan minyak dan gas (migas) yang kaya raya . Tak ayal, kegiatan eksplorasi perusahaan minyak asing pun marak di kawasan perairan yang memiliki kedalaman sekitar 1.000 sampai 2.375 meter itu. Dari pemerintah Indonesia misalnya, telah memberikan daerah konsesi Blok Ambalat ke perusahaan asing Unocal. Sedangkan pemerintah Malaysia mempercayakan konsesinya kepada Shell. Tumpang-tindih (overlapping) daerah konsensi inilah yang memicu klaim kedua pihak atas kepemilikan blok Ambalat.




















BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunaka penulis berdasarkan topik permasalahan diatas adalah jenis penelitian hukum normatif. Definisi dari metode penelitian hukum normatif adalah prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kaitanya dengan penelitian yuridis normatif jenis pendekatan yang dipilih adalah statuta approach(pendekatan menggunakan perundang-undangan, konvensi, dan perjanjian Internasional) dan historical approach(pendekatan menggunakan sejarah hubungan antara Indonesia dan Malaysia mengenai landas kontinen antar kedua negara)
Adapun metode pencarian data yang dilakukan untuk melengkapi menyusun tugas akhir adalah library reseach, yaitu pada kepustakaan sebagai pedoman penulisan karya ilmiah. Dengan adanya studi kepustakaan dalam bentuk sumber-sumber buku dan peraturan perundang-undangan penulis dapat melakukan kontrol serta menegaskan kerangka teoritis yang menjadi landasan pikiran penulis. Riset juga akan dilakukan dengan menggunakan bahan yang sekiranya relevan dalam membahas masalah yang menjadi penelitian.


B. Isu Hukum
Isu hukum yang dibahas dalam penelitian ini difokuskan terhadap proses penyelesaian sengketa dan kendala yuridis dalam proses penyelesaian sengketa ini.
C. Jenis Bahan Hukum
a.Bahan Hukum primer
1).United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982
2).Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982
3).Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
4).Undang-undang Nomor 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen
5).Peraturan pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang daftar titik-titik koordinatgaris pangkal kepulauan Indonesia jo. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002
6). Deklarasi Djoanda 13 desember 1957
b.Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi pendapat para ahli hukum internasional, studi dokumentasi, berita-berita baik dari media cetak maupun elektronik/ internet.



c. Bahan Hukum Tersier
bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder seperti:
1). Kamus bahan hukum
2). Kamus Bahasa Inggris
3). Kamus besar Bahasa Indonesia
D. Teknik pengumpulan bahan hukum
Bahan hukum diperoleh dengan cara studi kepustakaan melalui penelusuran bahan hukum , dengan mempelajari dan mengutip bahan hukum dari sumber-sumber yang ada,yaitu berupa literatur–literatur, peraturan perundang–undangan,peraturan pemerintah
E. Teknik analisa bahan hukum
Teknik analisa bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara mengelompokkan berbagai sumber data yang diperoleh melalui studi kepustakaan hukum yang berkaitan dengan pengaturan penyelesaian sengketa batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia







F. Definisi Konseptual
a. Penyelesaian Sengketa: Memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum Internasional
b. Landas Kontinen: daerah dasar laut dan tanah dibawahnya yang berada diluar laut teritorial yang merupakn kelanjutan alamiah dari daratan samapi ke batas terluar tepian kontinen atau sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, jika sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut maka batas maksimal menurut konvensi hukum laut 1982 adalah tidak boleh lebih dari 350 mil laut.
c. Blok Ambalat: Ambalat adalah blok laut luas mencakup 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia.










G. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Sebagai pendahuluan diuraikan mengenai latar belakang kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan serta sistematika penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Diuraikan mengenai pengertian-pengertian dan teori-teori serta asas-asas yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Menguraikan jenis penelitian, bahan hukum (bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier), metode pengumpulan bahan hukum dan metode analisa
BAB IV : PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan membahas mengenai ketentuan isi dari perjanjian internasional antara Indonesia dan Malaysia mengenai batas laut kedua negara
BAB V : PENUTUP
Sebagai penutup dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran dari penulis



BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PENYEBAB UTAMA DARI SENGKETA DI KAWASAN BLOK AMBALAT ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA
1. GAMBARAN UMUM PERAIRAN INDONESIA





Gambar 3: Peta Indonesia

Keadaan objektif geografi Indonesia yang terdiri dari beribu pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke merupakan ciri khas dan karateristik dari bangsa Indonesia yang membedakan dengan banyak negara di dunia, dan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia serta wilayah perairan sebesar ± 5.887.879 km dengan panjang garis pantai ± 80.570 km serta 92 pulau terluar dan memiliki 185 titik dasar dengan kondisi seperti ini Indonesia dapat diuntungkan sekaligus dapat menjadi potensi sengketa, karena indonesia juga berbatasan laut langsung dengan 10(sepuluh) negara yaitu : Malaysia, Singapura, Australia, Timor Leste, Filiphina, Thailand, Vietnam, India dan Papua Nugini .
Berdasarkan sejarah negara Indonesia, konsep mengenai keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dimulai pada masa sejarah dengan adanya sumpah palapa yang dilakukan oleh patih Gajah Mada pada masa itu sumpah ini dilakukan untuk menyatukan kerajaan majapahit dengan wilayah yang ada disekitarnya menjadi satu kerajaan. Dari segi ideologi sumpah palapa ini mencerminkan ideologi Negara Indonesia yaitu bineka tunggal ika. Uraian sejarah dari konsep Negara Kesatuaan Republik Indonesia memberikan gambaran kepada masyrakat luas bahwa konsep negara kesatuan telah ada sejak lama.
Wilayah Negera Indonesia pada awal kemerdekaan masih mengikuti ketentuan “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonante, tahun 1939 berdasarkan ordonansi ini wilayah laut teritorial indonesia hanya sejauh 3 mil laut dari garis pantai ketika surut dengan asas pulau demi pulau terpisah .
Pada masa berlakunya ordonansi tersebut wilayah Indonesia terbagi dalam wilayah daratan yang di pisahkan oleh selat atau perairan diantara pulau-pulau tersebut . Wilayah laut teritorial sangat sempit karena tiap pulau hanya 3 mil laut di sekelilingnya dan sebagian besar perairan dalam pulau-pulau merupakan perairan bebas hal ini sangat tidak sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia sendiri. Dengan semakin sadarnya akan kesatuan wialayah negara karena Indonesia merupakan negara kepulauan maka pada 13 desember 1957 muncul konsep wawasan nusantara dari deklarasi juanda yang berisi:
bahwa segala perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak dari negara republik Indonesia.
Lalu lintas damai diperairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari gari-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau negara republik Indonesiakan ditentukan dengan undang-undang. Jadi lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12 mil diukur dari garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluas .


Ada beberapa tujuan dari dikeluarkannya deklarasi juanda pada masa itu antara lain :
1). Perwujudan bentuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
2). Penentuan batas-batas wilayah Negra Indonesia di sesuaikan dengan asa Negara kepulauan( Archipelagic state principle )
3). Pengaturan lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keselamatan dan keamanan Negara Indonesia .
Untuk memperkuat deklarasi juanda dan asas negara kepulauan ditetapkan Undang-Undang No. 4 tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Sejak undang-undang tentang perairan Indonesia ini keluar luas wilayah laut negara Indonesia berubah, karena hal ini Indonesia dikenal sebagai negara maritim.
Setelah dikeluarkan deklarasi juanda oleh pemerintahan Indonesia ada pula deklarasi tentang landas kontinen yang berdasarkan kosep keutuhan wilayah asas-asas pokok yang termuat dalam deklarasi tentang landas kontinen adalah sebagai berikut :
1). Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara Republik Indonesia.
2). Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga melalui perundingan.
3). Jika tidak ada garis batas maka landas kontinen adalah suatu garis yang ditarik ditengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan wilayah terluar negara tetangga.
4). Klaim tersebut tidak mempengaruhi sifat serta status dari perairan di atas landas kontinen Indonesia maupun udara diatasnya.
Demi kepastian hukum dan untuk melindungi kebijakan pemerintah Indonesia asas-asas tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia dan pada tanggal 21 maret 1980 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pengemuman tentang Zona Ekonomi Eksklusif(ZEE).
Seperti yang telah ditulis sebelumnya perairan indoesia mempunyai perbatasan langsung dengan 10(sepuluh) negara antara lain : Malaysia, Singapura, Thailand, India, Vietnam, Philipina, Pulau timor leste, Papua Nuginie, dan Australia perbatasan perairan tersebut yaitu:
1). India di ujung utara sumatra(dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, diman pulau terluar yaitu Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Benggala, Pulau Rondo)
2).Malaysia sepanjang selat malaka(berbatasan dengan provinsi sumatra utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur), dengan pulau yang merupakan titik terluar adalah pulau berhala di Sumatra Utara, Pulau Anambaas di Provinsi Riau, Pulau sebatik di Provinsi Kalimantan Timur;
3). Singapura di sepanjang selat Philip dimana pulau terkuarnya adalah pulau Nipa (Provinsi Riau);
4). Thailand di bagian Utara selat Malaka dan Laut Adnaman pulau terluarnya pulau Rondo (NAD);
5). Vietnam di daerah Laut Cina Selatan dengan Pulau terluarnya adalah Pulau Sekatung (Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Natuna;
6). Pilipina di daerah Laut Sulawesi dengan Pulau terluarnya adalah Pulau Marore dan Miangas yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara;
7). Republik Palau di daerah utara Laut Halmahera dimana pulau terluarnya adalah Pulau Fani, Fanildo dan Bras (Provinsi Papua)
8). Australia disebelah selatan Pulau Timor dan Pulau Jawa;
9). Timor Leste disekitar wilayah Maluku dan NTT dengan Pulau terluarnya adalah Pulau Asutubun(provinsi Maluku), Pulau Batek(Provinsi NTT), Pulau Wetar(Provinsi Maluku);
10). Papua Nugini disekitar wilayah Jayapura dan Merauke
Indonesia dengan Malaysia telah melakukan perjanjian internasional tentang batas landas kontinen pada tahun 1969 dan penetapan garis batas wilayah diselat Malaka pada tahun 1970 dengan ratifikasi dengan Kepres No. 89 tahun 1969 pada 15 november 1969 dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1971 tanggal 10 maret 1971. dari perjanjian batas wilayah yang di tandatangani antara Indonesia dan Malaysia masih ada beberapa masalah perbatasan laut karena posisi Indonesia dan Malaysia yang wilayah lautnya berhadapan yaitu:
1). Malaysia Mengklaim Blok Ambalat di wilayah laut sulawesi yang merupakan kedaulatan negara Indonesia.
2). Indonesia juga mengklaim Blok Ambalat yang berada di laut Sulawesi masuk dalam wilayah NKRI.
Terjadinya perbedaan pandangan dan pendapat dari Indonesia dan Malaysia mengenai kepemilikan blok ambalat ini yang hingga saat ini menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Sebenrnya masalah ini dapat diselesaiakn secara damai anatar kedua negara namun karena kedua negara tetap berpegang terhadap pendapat masing- masing maka hingga saat ini perudingan pun belum mendapatkan hasil apapun.
2. GAMBARAN SENGKETA DI KAWASAN BLOK AMBALAT ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA
Indonesia sebagai negara kepulauan sesuai dengan pasal 46 a United Nation Conventions on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS’82) memiliki wilayah perairan yang lebih luas di banding daratannya hal ini merupakan salah satu pemicu sengketa perbatasan laut antar negara yang berdampingan karena lautnya yang luas. Dari Sepuluh negara yang memiliki masalah perbatasan laut dengan Indonesia terutama daerah laut landas kontinen antara lain :
1. Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia
2. Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dengan Thailand
3. Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia dan Thailand
4. Garis Batas Landas Kontien Indonesia dengan Australia
5. Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dengan India
6. Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dengan india, Thailand, Laut Andaman
Terjadinya sengketa antara Indonesia dan Malaysia mengenai blok ambalat yang merupakan blok dasar laut yang berlokasi di sebelah timur pulau Borneo(Kalimantan) ini bermula pada bulan februari tahun 2005 perusahaan minyak Petronas Malaysia memberikan ijin konsesi eksplorasi kepada perusahaan minyak Shell milik Inggris dan Belanda, malaysia mengklaim Blok XYZ itu merupakan wilayahnya sesuai dengan peta yang di buat Tahun 1979 oleh Malaysia mengundangkan Essensial Powers Ordonance yang meletakkan batas terluar maritim secara eksersif di daerah Laut Sulawesi karena Malaysia menggunakan pulau sipadan-ligitan untuk menarik garis pangkal terluar negaranya sedangkan Malaysia bukan merupakan negara kepulauan , dalam hal ini Malaysia menggunakan dasar pasal 121 UNCLOS’82 yaitu “ tiap pulau berhak mempunyai laut teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya”. Dengan Peta baru Malaysia ini Malaysia mengumumkan lebar laut teritorialnya 12 mil laut yang diukur dengan garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut hukum laut 1958 dengan tindakan deklarasi ini Malaysia banyak merugikan negara disekitarnya karena garis pangkal dan titik pangkal untuk menentukan batas wilayahnya hanya diketahui oleh Malaysia sendiri, seharusnya dalam pergaulan Internasional suatu negara harus memberitahukan titik-titik pangkal dan garis laut teritorialnya agar negara-negara lain dapat mengetahuinya . Dalam peta tahun 1979 Malaysia menarik garis garis batas wilayahnya dari deretan pantai sabah dengan menarik garis pangkal dari pulau sipadan dan ligitan (sebelum keluarnya putusan ICJ Tahun 2002) kedalam wilayah kesatuan Malaysia serta menjadi wilayah kesatuan dari sabah. Pulau sipadan yang terletak di 15 mil laut dari pantai daratan sabah di Malaysia timur dan 40 mil laut dari pulau sebatik(Indonesia) sedangkan pulau Ligitan yang terletak pada 21 mil laut dari pantai daratan sabah dan 57,6 mil laut dari pulau sebatik(Indonesia) .
Hal ini yang mengakibatkan kemarahan bagi negara Indonesia karena Indonesia telah lama mengklaim wilayah Blok Ambalat dengan pemerian ijin eksploitasi pada Tahun 1970 di wilayah North East Kalimantan yang dikelola oleh British Petroleum, Pada Tahun 1983 dikelola oleh Hudson Bunyu dan tahun 1988 perusahaan minyak Italia ENY mengikatkan kontrak pertambangan Blok Ambalat dengan Indonesia yang berakhir Tahun 2009. Pada Tahun 2005 perusahaan minyak Petronas Malaysia melakukan ijin konsesi pada perusahaan minyak Shell milik Belanda dan Inggris untuk mengelola Blok Ambalat yang kemudian pada Tahun 2004 perusahaan Uncoal yang merupakan milik Amerika menandatangani kontrak eksploitasi Blok ambalat namun kontak ini di protes oleh pihak Malaysia setelah Malaysia memenangkan kepemilikan pulau sipadan-ligitan melalui keputusan ICJ tahun 2002 dan memasukkan kedua pulau tersebut kedalam peta negara malaysia tahun 1979, menurut malaysia ambalat dan ambalat timur meruapakan kepanjangan alamiah dari daratan sabah yang letaknya 12 mil dari sebelah selatan sipadan-ligitan yang menurut Malyasia merupakan masih wilayah negaranya.
Terjadinya klaim tumpang tidih atas kepemilikan Blok Ambalat(sebutan Indonesia) atau Blok XYZ( sebutan Malaysia) terjadi karena adanya peta sepihak yang di keluarkan oleh pemerintah Malaysia pada Tahun 1979 sedangkan blok ambalat sendiri merupakan kelanjutan alamiah dari daratan kalimantan timur (Indonesia). Indonesia sebagai negara kepulauan berhak menentukan titik-titik terluar yang dipakai sebagai garis pangkal , maka Indonesia mendirikan Karang Unarang yang terletak di sebelah tenggara pulau sebatik( bagian Indonesia) 12 mil laut dari kalimantan timur menurut pasal 5 UU No. 6 Tahun 1996 Indonesia masih berhak dalam jarak 100 mil karang unarang juga terletak pada posisi 12 mil dari luar batas maritim malaysia dan 12 mil disebelah selatan pulau sipadan yang merupakan batas maritim klaim malaysia, karang unarang juga merupakan baselines setelah peristiwa lepasnya pulau sipadan dan legitan sesuai dengan keputusan Internasional Court of Justise pada tahun 2002 yang menyatakan bahwa pulau sipadan dan legitan milik negara malaysia. Menurut kelaziman hukum Internasional karena Malaysia tidak melakukan Klaim atas tidakan Indonesia atas kegiatan penambangan dan eksploitasi di wilayah Blok Ambalat sejak Tahun 1960 hingga pasca keluarnya peta Malaysia tahun 1979 itu merupakan bukti pengakuan Malaysia terhadap wilayah Blok Ambalat dan Indonesia memiliki Hak berdaulat di wilayah tersebut .
Malaysia merupakan negara pantai biasa oleh pengaturan dalam United Nation Conventions on the Law Of the Sea 1982 dinyatakan bahwa Negara pantai biasa hanya diperbolehkan menarik garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (Straight Baselines), karena alasan ini seharusnya Malaysia tidak diperbolehkan menarik garis pangkal lautnya dari pulau sipadan legitan karena malaysia bukan merupakan negara pantai. namun dilain pihak Malaysia menggunakan pasal 121 UNCLOS yang menyatakan bahwa setiap pulau berhak mendapatkan laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas kontinennya seniri-sendiri hal ini dapat dibenarkan namun dalam penetapan landas kontinen antar negara juga harus memperhatikan apakah daratan dasar laut itu merupakan kelannjutan tanah alamiah tanah diatasnya sehingga itu merupakan daerah landas kontinen suatau negara dan juga harus diperhatikan perjanjian batas landas kontinen yang telah ditetapkan oleh Indonesia dan Malaysia.
Indonesia dan Malaysia merupakan negara yang ikut serta menandatangani United Nation Conventions on the Law Of the Sea 1982, maka dalam hal status blok ambalat ini tidak dipermasalahkan karena telah ada pengaturannya dalam UNCLOS’82, namun Indonesia dan Malaysia masih saja berselisih paham mengenai penetapan landas kontinen di wilayah Blok Ambalat.
3. FAKTOR SENGKETA BLOK AMBALAT
Dari uraian yang telah disampaikan oleh penulis diatas dapat dilihat beberapa fakor atau sebab yang menjadi masalah utama di blok ambalat yaitu:
a. Delimitasi wilayah di kawasan blok ambalat yang belum jelas
Indonesia dan Malaysia yang merupakan negara yang telah melakukan ratifikasi terhadap United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS)’82, Indonesia menandatangai pada tahun 1985 dan melalui UU no.17 Tahun 1985 sedangkan Malaysia mengikatkan diri pada 14 Oktober 1996, kedua negara ini telah sama-sama mengikatkan diri pada UNCLOS 1982.
Masalah kawasan blok ambalat ini muncul karena batas wilayah pada kawasan blok ambalat ini tidak jelas, baik Indonesia maupun Malayasia mempunyai penafsiran sendiri mengenai Blok ini. Menurut Indonesia Blok ambalat merupakan wilayah berdaulat milik Indonesia karena Blok ambalat merupakan kepanjangan alamiah daratan kalimantan timur karrena jarak kalimantan timur dengan blok ambalat dan ambalat timur berkisar 30-40 mil laut dengan dasar pasal 76 United Nations Convention on the Law Of the sea maka Blok Ambalat dan Ambalat Timur masih berada dalam 200 mil laut oleh karena itu Indonesia masih mempunyai hak berdaulat dalam blok tersebut dan sejak Tahun 1960 Indonesia telah melakukan dan memberikan ijin eksploitasi pada Tahun 1970 di wilayah North East Kalimantan yang dikelola oleh British Petroleum, Pada Tahun 1983 dikelola oleh Hudson Bunyu dan tahun 1988 perusahaan minyak Italia ENY mengikatkan kontrak pertambangan Blok Ambalat dengan Indonesia yang berakhir Tahun 2009 maka segal kekayaan alam yang ada di kawasan tersebut berada dibawah yurisdiksi Indonesia dan sejak tahun 1960 Malaysia tidak mengajukan keberatan terhadap kegiatan di kawasan Blok ambalat yang dilakukan Indonesia hingga munculnya peta Malaysia tahun 1979 yang memasukkan pulau sipadan-ligitan menjadi satu kesatuan wilayah daratan sabah kedalam petanya jauh sebelum adanya putusan dari ICJ .
Sedangkan dari pihak Malaysia mengklaim bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur meerupakan kelanjutan alamiah dari daratan Sabah hingga pada Tahun 1979 mengeluarkan Essensial Power Ordonance yang mengumumkan bahwa luas laut teritorialnya sejauh 12 mil dan telah memasukkan pulau Sipadan-Ligitan kedalam petanya sebelum adanya putusan dari International Court of Justice tahun 2002, selain itu Malaysia juga menggunakan pasal 121 UNLCOS yang menyatakan bahwa “ setiap pulu berhak mendapatkan laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusifnya sendiri” oleh karena itu Malaysia merasa mempunyai kewenangan dan Yurisdiksi atas kekayaan alam yang terkandung di dalam kawasan Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Namun menurut perhitungan menyatakan bahwa jarak antara sabah dan Blok Ambalat dan Ambalat Timur adalah 6000meter oleh karena itu tidak mungkin jika blok ambalat merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratan Sabah.
Indonesia dan Malaysia pun sebenarnya telah menandatangani perjanjian Landas Kontinen antar kedua negara yaitu : “Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penetapan garis batas landas kontinen antara kedua Negara “ (Agreement between the Government of the Republic of Indonesian and the Government of Malaysia relating to the delimitation of the continental shelves between the two countries 1969)”, yang telah ditandatangani oleh delegasi-delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia di Kualalumpur pada tanggal 27 Oktober 1969. namun karena perbedaan penafsiran terhadap konsep UNCLOS anatar Indonesia dan Malaysia ini juga yang menjadikan batas landas konrinen di Kawasan Blok ambalat menjadi tidak jelas.
b. Kandungan Sumber Daya Alam
Perebutan blok ambalat yang melibatkan Indonesia dan Malaysia pada dasarnya adalah perebutan sumber daya alam yang ada di dalam blok ambalat, Indonesia yang telah melakukan klaim terhadap blok ini sejak tahun 1960 telah mengetahui bahwa di kawasan blok ambalat terdapat cadangan minyak bumi yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan negara dan devisa negara. Klaim yang dilakukan Indonesia sejak Tahun 1960 terhadap blok ambalat dan penguasaaan terhadap sumber daya alam minyak dengan pemberian ijin ekploitasi pada Tahun 1970 di wilayah North East Kalimantan yang dikelola oleh British Petroleum, Pada Tahun 1983 dikelola oleh Hudson Bunyu dan tahun 1988 perusahaan minyak Italia ENY mengikatkan kontrak pertambangan Blok Ambalat dengan Indonesia yang berakhir Tahun 2009.
Sejak Tahun 1970 itu Malaysia tidak pernah melakukan protes terhadap ekploitasi yang dilakukan oleh Indonesia, menurut kebiasaan Internasional jika suatu negara melakukan kegiatan ekploitasi diwilayah hak berdaulat dan negara lain yang ada di wilayah yang sama tidak mengajukan protes selama dua tahun maka wilayah hak berdaulat tersebut menjadi yurisdiksi dari negara yang menguasai pertama kalinya . Namun dengan keluarnya peta Malaysia pada Tahun 1979 yang secara sepihak memasukkan wilayah kawasan Blok Ambalat kedalam wilayah Negara Malaysia ini yang membuat sengketa mengenai Sumber Daya Alam dan kedaulatan di kawasan ini muncul. Malaysia menggunakan dasar pasal 121 UNCLOS: “Except as provided for in paragraph 3, the territorial sea, the contiguous zone, the exclusive economic zone and the continental shelf of an island are determined in accordance with the provisions of this Convention applicable to other land territory. ”. pasal 121 UCLOS ini merupakan pasal tentang Negara kepulauan sedangkan Malaysia bukan Negara Kepulauan , hal ini yang membuat Indonesia tidak terima akan sikap dari Malaysia yang memasukkan wilayah Blok Ambalat kedalam wilayah Negara Malaysia.

B. KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL UNTUK MENYELESAIKAN SENGKETA DI KAWASAN BLOK AMBALAT ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA
1. PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DAMAI
Suatu prinsip yang dikenal masyarakat internasional dalam penyelesaian sengketa adalah prinsip penyelesaian sengketa secara damai dalam hal ini dituangkan dalam pasal 1 konvensi Den Haag Tahun 1907 yang diambil dalam piagam PBB pasal 2 ayat 3 yang berbunyi: ” all members shall settle their internasional disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security and justice are not endangered”. Kemudian prinsip ini dijabarkan lagi dalam pasal 33 piagam PBB yaitu:
”para pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut akan membahayakan keamanan dan perdamaian Internasional harus pertama-tama mencari penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi , penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbritase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasi-organisasi atau badan-badan regional atau cara-cara penyelesaian sengketa secara damai yang mereka pilih.”

Dari prinsip-prisip dasar yang telah ada dalam piagam PBB, United Nation Conventions On the Law of the sea 1982 juga mengadopsi prinsip penyelesaian sengketa secara damai yang tertuang dalam pasal 279 :
” bahwa negara-negara para pihak harus menyelesaikan sengketa diantara meraka mengenai interpretasi atau penerapan konvensi ini dengan cara-cara damai sesuai dengan pasal 2 ayat 3 dari piagam PBB dan untuk tujuan ini akan mencari solusi dengan cara yang ditujuk pasal 33 ayat 1 dari piagam PBB” .

Dalam proses penyelesaian sengketa secara damai ada beberapa prinsip yang harus dilakukan oleh tiap negara anggota yaitu:
a. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
Merupakan prinsip yang fundamental dalam berbagai proses penyelesaian sengketa antar negara. Pada prinsip ini mensyaratkan agar itikad baik merupakan dasar dari para pihak dalam proses penyelesaian sengketa mereka. Dalam proses penyelesaian sengketa prinsip ini dibagi dalam dua tahap yaitu:
1). prinsip itikad baik mensyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan baik antar negara.
2). Prinsip ini disyaratkan harus ada dalam penyelesaian sengketa antar negara melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal oleh hukum internasional.
b. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini juga sangat penting dalam penyelesaian sengketa internasional, dalam prinsip ini tiap negara dilarang menggunakan kekerasan dalam tiap penyelesaian sengketanya.

c. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesain sengketa
Prinsip penting lainnya adalah dimana para pihak memiliki kebebasan penuh dalam menentukan dan memilih cara untuk bagaiman sengketa itu di selesaikan (Principle of free choice of means) prinsip ini termuat dalam pasal 33 ayat 1 piagam PBB.
d. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan Terhadap Pokok Sengketa
Kebebasan para pihak ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono), ini merupakan sumber dari pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan dan kelayakan.
Dalam sengketa antar negara ini merupakan hal yang umum bagi pengadialn internasional misalnya Mahkamah Internasional untuk menerapkan hukum internasional walaupun penerapan hukum internasional tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak.
e. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa merupakan prinsip yang fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Perinsip ini merupakan dasar bagi pelaksanaan prinsip ke 3 dan ke 4.


f. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Menurut prinsip ini sebelum para pihak yang bersengketa mengajukan perkaranya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu di tempuh.
g. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan dan Integritas wilayah negara
Pada prinsip ini mensyaratkan bahwa negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lain berdasarkan prinsip fundamental integritas wilayah negara.
Dalam dunia Internasional ada beberapa cara dalam menyelesaikan sengketa Internasional secara damai yaitu:
a. Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling mendasar dan paling tua yang digunakan dalam pergaulan dunia internasional . Penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi merupakan cara yang awal ditempuh dalam menyelesaikan sengketa antara para pihak. Negosiasi dapat dilakukan melalui saluran diplomatik pada konfrensi internasional atau dalam satu lembaga atau organisasi Internasional.
Cara negosiasi ini dapat digunakan untuk menyelesaikan segala bentuk sengketa antara lain sengketa ekonomi, sengketa hukum, sengketa politik, dan sengketa wilayah negara.
Kelemahan dari sistem negosiasi dalam penyelesaian suatu sengketa adalah:
1). Apabila kedudukan para pihaknya tidak seimbang, salah satu pihak memiliki posisi yang kuat akan menekan pihak yang posisinya lebih lemah. Hal ini yang biasanya membuat proses negosiasi menjadi terhambat.
2). Proses berjalannya proses negosiasai cenderung lambat dan memakan banyak waktu. Hal ini biasanya dikarenakan permasalahan antar negara yang timbul merupakan masalah yang penting misalnya mengenai masalah perbatasan antar negara Indonesia dan Malaysia.
3). Jika salah satu pihak terlalu keras pada pendiriannya dan tidak mau melakukan negosiasi secara baik, keadaan seperti ini membuat lamban bahkan membuat berhentinya proses mediasi.
Segi positif dari proses negosiasi yaitu:
1). Para pihak sendiri yang melakukan proses negosiasi secara langsung.
2). Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian sengketa secara negosiasi yang mereka inginkan.
3). Para pihak melakukan pengawasan dan pemantauan secara langsung mengenai prosedur penyelesaiannya
4). Proses negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri
5). Dalam negosiasi para pihak berupaya mencari penyelesaian sengketa yang dapat diterima dan memuaskan para pihak.
Manakala dalam satu proses negosiasi ini berhasil biasanya kesepakatan ini di tuangkan dalam suatu dokumen yang mempunyai kekuatan hukum misalnya hasil kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian. Namun jika cara negosiasi ini gagal maka para pihak sepakat menyelesaiakan sengketa ini dengan cara lain yaitu: arbitrase, mediasi, dan konsiliasi.
b. Pencarian Fakta
cara lain dalam penyelesaian sengketa internasional adalah dengan penunjukan suatu badan independen untuk menyelidiki fakta-fakta yang menjadi penyebab sengketa. Tujuan utama dari penunjukan badan independen ini adalah untuk memberikan laporan kepada para pihak mengenai fakta yang ada dan yang ditelitinya. Dalam dunia internasional pencarian fakta ini sering disebut dengan fact-finding atau inquiry. Tujuan dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya dapat digunakan untuk:
1). Membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di antara dua negara
2). Mengawasi pelaksanaan perjanjian internasional
3).Memberikan informasi guna membuat keputusan ditingkat internasional (pasal 34 piagam PBB).
Salah satu aturan dalam hukum internasional yang mengatur mengenai pencarian fakta adalah pasal 9-36 The Hague Convention on The Pacific Settlement of Disputes 1899 dan 1907. pasal-pasal dari konvensi ini mengatur cara penyelesaian sengketa melalui pencaria fakta(fact-finding) dengan membentuk komisi independen yang bertugas mencari fakta. Peranan komisi yang di bentuk ini hanya untuk melaporkan keadaan fakta yang sebenarnya, tidak untuk memberikan rekomendasi tertentu dalam penyelesaian sengketa. Resolusi dewan MU PBB no. 2329(XXII) tahun 1967 menganjurkan agar anggota PBB lebih banyak memanfaatkan prosedur pencarian fakta guna menyelesaikan sengketanya.
Namun proses penyelidikan in sangat jarang digunakan masyarakat internasional, karena fakta-fakta yang melingkupi suatu sengketa biasanya tidak begitu dipersoalkan atau disengketakan selain itu juga karena para pihak yang bersengketa tidak mau begitu saja menerima versi fakta yang dapat oleh komisi yang dibentuk.
c. Jasa-Jasa Baik
Secara ringkas jasa-jasa baik merupakan penyelesaian sengketa melalui keikutsetaan jasa pihak ke-3. menurut Bindschedler jasa baik adalah the involvement of one or more state or an internasional organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement . Tujuan dari jasa baik ini adalah agar kontak langsung di antara para pihak tetap terjamin, yaitu mempertemukan para pihak yang bersengketa agar mau berunding. Cara penyelesaian ini sangat berguna jika kedua Negara tidak mempunyai hubungan diplomatik atau hubungan diplomatik antar Negara telah berakhir.
Keikutsertaan pihak ke-3 memberikan jasa-jasa baik memudahkan pihak yang bersengketa untuk bersama-sama melakukan perundingan diantara mereka. Jasa baik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu technical good offices(jasa baik teknis) adalah jasa baik negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang pihak-pihak yang bersengketa ikut dalam konfrensi atau terlibat dalam konfrensi, tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan antar para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik antar Negara yang bersengketa itu terputus. Sedangkan political good offices (jasa baik politis) adalah jasa baik yang dilakukan oleh Negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti oleh suatu kegiatan negosiasi atau suatu kompensasi. Yang termasuk dalam kategori ini adalah menerima mandat dari Negara lain untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Jasa baik politis ini misalnya mengembalikan orang-orang kenegara asalnya dan mengawasi pelaksanaan perjanjian internasional.
Dalam hal untuk menawarkan jasa baik ini oleh organisasi internasional, negara, dan perorangan merupakan berasal dari hukum kebiasaan internasional. Dalam hal jasa baik dilaksanakan oleh negara maka sumber hak tersebut ada pada kedaulatan negara untuk menawarkan jasa baik. Hak-hak untuk menawarkan tersebut berlaku juga terhadap pihak-pihak lain untuk menolak tawaran tersebut. Ketentuan yang mengatur jasa baik dapat dilihat melalui perjanjian internasional antara lain: The Hauge Convention on the Pasific Settlement of Internasioal Disputes 1907 dan BAB 6 (pasal 33-38) piagam PBB mengenai pengeturan penyelesaian sengketa secara damai, dalam kasus sengketa blok ambalat penyelesaian sengketa secara damai yang dapat diterapkan adalah dengan cara :
a). KONSILIASI
konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa yang bersifat lebih formal dibanding mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak . Komisi yang dibentuk ini bisa berupa komisi ad hoc(sementara) yang berfungsi untuk menetapakan persyaratan yang diterima oleh para pihak namun putusan dari komisi ini tidak mengikat para pihak. Dalam The Hague Conventions for the Passific Settlement of International Disputes 1899 dan 1907 mengatur mengenai pembentukan dan tugas serta wewenang dari komisi konsiliasi yang ditugaskan untuk mencari fakta-fakta yang ada dalam pokok sengketa, dalam kasus Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia memang belum mengunakan proses ini karena negosiasi antara kedua Negara masih sulit untuk menemui kata sepakat sehingga memerlukan waktu lama dalam pembentukan komisi konsiliasi yang dapat membantu proses pnyelesaian sengketa ini, komisi ini merupakan tindak lanjut dari proses negosiasi kedua negara dalam masalah Blok Ambalat ini.
Perkembangan penting dalam proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi adalah dengan ditandatanganinya perjanjian antara Prancis dan Swiss tahun 1925 , dalam perjanjian ini ditetapakan tugas dan fungsi suatu badan konsiliasi yang kemudian menjadi model bagi pembentukan badan konsiliasi selanjutnya, dalam perjanjian antara swiss dan perancis ini memperlihatkan beberapa fungsi dari badan konsiliasi:
1). Menganalisis sengketa mengumpulkan keterangan mengenai pokok perkara dan berupaya mendamaikan para pihak;
2). Membuat laporan mengenai hasil upayanya dalam mendamaikan para pihak;
3). Menetapkan atau membatasi jangka waktu tertentu dalam menjalankan tugasnya.
Mengenai status blok ambalat ini pemerintah Indonesia hingga saat masih melalukan perundingan dengan pemrintahan negara Malaysia agar masalah sengketa ini dapat diselesaikan tanpa melibatkan Mahkamah Internasional seperti kasus pulau sipadan-ligitan. Selama proses negosiasi yang dijalankan oleh keduabelah negara ini ada kesepakatan mengenai Joint Coorporation di kawasan blok ambalat, Joint Coorporation atau perjanjian alternatif dalam penyelesaian sengketa batas landas kontinen merupakan:
1. Joint Coorporation.
Adanya perjanjian- perjanjian mengenai garis batas landas kontinen, putusan-putusan badan penyelesaian sengketa, tentang garis batas landas kontinen atau dengan adanya kegagalan dalam perundingan-perundingan mengenai penyelesaian sengketa di kawasan landas kontinen hal ini sering meninggalkan masalah mengenai ekploitasi sumber daya alam yang terletak dikawasan landas kontinen yang disengketakan atau disebut juga transboundary natural resourses , transboundary natural resourses adalah sumber daya alam dari dasar laut atau dibawah dasar laut yang meluas dari garis batas pada dua sisi dari landas kontinen sehingga sumber daya alam dilandas kontinen dari negara yang satu baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat diekploitasi oleh negara lain hal ini juga berlaku untuk negara-negara yang batas landas kontinennya masih merupakan persengketaan sumber daya alam yang lintas batas tersebut.
Banyak persoalan yang timbul akibat tidak jelasnya batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di wilayah kawasan Blok Ambalat, masalah itu muncul mengenai hak eksploitasi yang ada dikawasan blok ambalat. Banyak praktek dalam negara-negara yang bersengketa hal mengenai perebutan sumber daya alam dan eksploitasi sumber daya alamnya antara negara yang bersengketa biasanya diarahkan dengan kerjasama dengan mengadakan perjanjian tentang Joint Coorporation / Joint Exploitation atau Joint develompment . Secara Umum perjanjian ini tidak terbatas hanya pada garis batas landas kontinen yang tumpang tindih tapi juga dapat ditetapkan pada garis batas maritim lainnya.
Dalam tiap perjanjian batas landas kontinen antar negara juga diatur mengenai posisi sumber daya alam yang lintas batas ini dan pada umumnya negara-negara mengaturnya dalam perjanjian atau persetujuan tersendiri untuk mengeksploitasi sumber daya alam tersebut. Namun dalam perjanjian Landas Kontinen Indonesia dan Malaysia pada tahun 1969 tidak mengatur lebih lanjut akan adanya Joint operation antara Indonesia dan Malaysia.
Dalam perundingan yang dilakukan antara Perwakilan Indonesia dan Perwakilan Malaysia sudah dibahas mengenai akan adanya Joint Operation dikawasan Blok Ambalat namun Perwakilan Indonesia secara tegas menolak dengan alasan bahwa Blok Ambalat merupakan wilayah dari Negara Indonesia sehingga harus dipertahankan. Dalam hal ini Indonesia mempunyai dasar kuat untuk menolak melakukan Joint Operation dengan Malaysia, alasan itu antara lain:
1). Menurut UNCLOS 1982, hanya negara kepulauan yang boleh menarik garis pangkal (baselines) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar sedangkan Malaysia hanya merupakan negara pantai biasa yang tidak boleh menarik garis pangkalnya dari pulau terluar sipadan-ligitan (yang atas putusan ICJ tahun 2000 menjadi wilayah negara malaysia) namun malaysia hanya boleh menarik baselinesnya dari negara bagian Sabah dari daratan utamnya
2). Klaim Indonesia terlebih dahulu terhadap blok ambalat yaitu sejak tahun 1960 dan telah melakukan ekploitasi sejak tahun 1970 North East Kalimantan yang dikelola oleh British Petroleum, Pada Tahun 1983 dikelola oleh Hudson Bunyu dan tahun 1988 perusahaan minyak Italia ENY mengikatkan kontrak pertambangan Blok Ambalat dengan Indonesia yang berakhir Tahun 2009 tetapi dengan keluarnya Essensial Powers Ordonance tahun 1979 yang secara sepihak dan tidak diketahui titik pangkal batas wialyah Malaysia hanya diketahui oleh Malaysia sendiri sedangkan menurut pergaulan dunia Internasional negara-negara lain harus mengetahui garis titik pangkal dan garis pangkal lautnya, Peta Malaysia Tahun 1979 ini menimbulkan banyak protes dari negara-negara lain maka peta malaysia ini sebenarnya tidak mempunyai kekuatan hukum.
2. INTERNASIONAL TRIBUNAL for the LAW OF the SEA ( ITLOS )
Penyelesaian sengketa menurut hukum laut internasional sebelum lahirnya United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982(UNCLOS’82) hanya dilakukan dengan penyelesaian sengketa seperti penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal sengketa yang terjadi diselesaikan melalui mekanisme dan institusi peradilan internsional yang telah ada seperti Internasional Court of Justice (ICC) namun setelah lahirnya UNCLOS’82 ini yang juga letah menyediakan sistem penyelesaian sengketa yang tersendiri maka para pihak atau para peserta dalam konvensi ini dipaksa untuk menerima prosedur dari proses penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan konvensi ini. Dengan adanya system penyelesaian tersendiri dari UNCLOS ini maka Negara para pihak jika ada sengketa tidak dapat lagi menunda-nunda untuk menyelesaiakan sengketanya.
Menerut mekanisme konvensi ini, Negara anggota diberikan kebebasan untuk memilih prosedur yang di inginkan sepanjang itu disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Prosedur penyelesaian sengketa yang dimaksud termasuk juga prosedur yang tercantum dalam pasal 33 ayat 1 piagam PBB, mekanisme regional atau bilateral atau melalui perjanjian bilateral. Jika dengan prosedur yang telah disebutkan diatas belum mencapai kesepakatan maka para pihak wajib segera menetapkan cara penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak. Jika dalam tahap ini juga masih tidak disepakati maka para pihak harus menjalankan prosedur yang terdapat dalam annex VI konvensi ini. Namun hak ini juga belum mencapai kata sepakat para pihak maka diterapakan prosedur selanjutnya yaitu menyampaikan masalah atau sengketa ini kesalah satu badan peradilan internasional yang disediakan oleh konvensi ini yaitu:
1. Internasional Tribunal for the Law Of the Sea (ITLOS) untuk hukum laut
2. Internasional Court of Justice (ICC) atau Mahkamah Internasional
3. Tribunal Arbitrase
4. Tribunal Arbitrase Khusus
Internasional tribunal for the Law of the Sea terbentuk pada 1 agustus 1966 dan berkedudukan di Hamburg Jerman yang mempunyai tujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang berhubungan dengan interpretasi dan pelaksanaan konvensi hukum laut 82 . Mahkamah laut internasional ini mempunyai beberapa kompetensi yang di atur dalam pasal 287 UNCLOS’82 serta yurisdiksi atas perselisihan yang diajukan padanya tentang masalh interpretasi dan penerapan ketentuan-ketentuan konvensi ini, serta semua hal yang diterapkan dalam persetujuan lain yang memberikan yurisdiksi pada mahkamah ini.
Para pihak baru mengajukan perselisihan pada ILTOS setelah kedua belah pihak Negara yang bersengketa setuju untuk mengajukan perselisihannya kepada ITLOS. Perselisihan yang di ajukan kepada ITLOS menggunakan nota tentang persetujuan khusus atau dengan permohonan tertulis kepada ITLOS, kemudian ITLOS menetepakan upaya-upaya sementara untuk menjaga hak-hak para pihak atau untuk mencegah kerusakan lingkunga yang lebih parah. Dalam melakukan persidangannya mahkamah ini terbuka untuk umum dan hadir atau tidaknya para pihak dalam persidangan ini tidak mempengaruhi pemeriksaan dalam sidang ini.
Keputusan dari sidang ITLOS ini diambil dengan system suara terbanyak dari anggota mahkamah yang hadir dengan ketentuan bahwa ketua mahkamah dapat memberikan suara penentu dalam hal terdapat suara sama banyak . Keputusan dari mahkamah menyebutkan alasan-alasan yang dijadikan dasar oleh mahkamah untuk mengeluarkan keputusan tersebut, mahkamah juga dapat memutuskan untuk permohonan dari Negara lain peserta konvensi ini untuk di izinkan sebagai pihak tambahan dalam kasus yang sedang disengketakan tersebut.dalam hal ini keputusan mahkamah mengikat Negara yang terlibat dalam sengketa.
Setiap Negara dalam konvensi ini mempunyai hak untuk turut serta sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal mahkamah ini mengadakan interpretasi atau penerapan dari konvensi ini. Keputusan dari mahkamah merupakan keputusan akhir dari pihak yang berselisih dan para pihak yang terlibat harus menaatinya karena keputusan ini mengikat para pihak yang terlibat dalam sengketa yang diajukan pada mahkamah ini.
Jika kasus sengketa wilayah dikawasan Blok Ambalat akan diselesaikan di Internasional Tribunal for the Law Of the Sea (ITLOS) atau Mahkamah Internasional Hukum Laut harus merupakan persetujuan dari Indonesia dan Malaysia untuk menyelesaikan masalah ini melaluai jalur ITLOS. Namun selama ini Indonesia dan Malaysia masih mengusahakan Jalur damai non yudisial dengan perundingan-perundingan yang masih dilaksanakan hingga saat ini untuk mencari penyelesaian kasus blok ambalat. Meskipun status blok amblat sekarang merupakan status quo namun banyak pelanggaran yang terjadi dikawasan perairan blok ambalat ini.
ITLOS saat ini belum dapat melakukan tindakan apapun dengan sengketa antara Indonesia dan Malaysia di kawasan Blok Ambalat ini karena kedua Negara belum mau menyelesaikannya melalui badan penyelesaian sengketa yang ada dalam UNCLOS yang telah sama-sama diratifikasi oleh Indonesia dan Malaysia.
3. MAHKAMAH ARBITRASE
Mahkamah Arbitrase kelautan merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa masalah laut yang diatur dalam UNCLOS pada Annex VII dan VIII. Dalam penyelesaian melalui badan ini dimulai dengan pengiriman nota tertulis antar para pihak yang menyebutkan dasar dan alasan Klaim terhadap wilayah yang disengketakan antara satu dengan yang lain setelah itu Negara yang bersengketa yang setuju menyelesaikan masalah sengketanya di hadapan Mahkamah Arbitrase kemudian menujuk empat orang arbiter . Dalam tiap arbitrase mempunyai lima orang anggota, masing-masing pihak yang bersengket memilih satu orang anggota dan ketiga anggota yang lain berasal dari warga Negara dari Negara ketiga (kecuali jika ditentukan lain oleh pihak yang bersengketa) dipilih denga persetujuan pihak yang bersengketa. Paihak yang bersengketa juga akan menunjuk ketua arbitrase dari ketiga orang tadi jika dalam hal ini Negara bersengketa tidak sepakat mengenai ketua mahkamah arbitrase maka ITLOS akan melakukan penunjukan terhadap siapa yang berwenang menjadi ketua arbitrase .
Para pihak diwajibkan memberikan bahan yang akan dikerjakan oleh arbiter , dengan maksud menyediakan dokumen-dokumen, fasilitas dan informasi serta memungkinkan melakukan pemanggilan terhadap saksi-saksi dan tenaga ahli yang kompeten dan juga melakukan kunjungan ketempat yang menjadi sengket, sehingga proses pemeriksaan dapat dilakukan dengan baik oleh arbitrase jika terjadi salah satu pihak tidak datang atau gagal mempertahankan klaimnya terhadap kasus ini maka sidang arbitrase dapat dilanjutkan dan mendapatkan keputusan dari sidang arbitrase ini. Klaim terhadap blok ambalat yang dilakukan oleh Indonesia sejak than 1960 dan mulai melakukan eksploitasi terhadap blok ambalat dengan pemberian ijin konsesi terhadap beberapa perusahaan asing kemudian Malaysia yang mengeluarkan peta tahun 1979 dan melakukan klaim terhadap blok ambalat dengan juga memberikan ijin konsesi terhadap perusahaan minyak asing untuk memberikan hak ekploitsi di kawasan blok ambalat, tumpang tindih dari kkepemilikan blok ambalat ini dapat diselesaikan juga melalui pembentukan Mahkamah arbitrase oleh Mahkamah hukum laut, namun hal ini kembali kepada kesepakatan para pihak apakah ingin mengajukan masalah ini ke hadapan sidang arbitrase.
Dengan sifat keputusan akhir dari Arbitrase ini yang mengikat maka para pihak yang mengajukan masalah ini di hadapan sidang arbitrase ini harus mematuhi keputusan yang dikeluarkan oleh sidang arbitrase.
4. KETENTUAN HUKUM YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MENYELESAIKAN SENGKETA LANDAS KONTINEN DI KAWASAN BLOK AMBALAT ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA
Dari uraian beberapa alternatif penyelesaian sengekta yang ada dalam hukum Internasional terutama pada bidang Hukum Laut Internasional maka yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa Batas Landas Kontinen di kawasan Blok Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia yaitu kedua Negara baik Indonesia dan Malaysia mengajukan sengketa Blok Ambalat ini kehadapan Internasional Tribunal for the Law Of the Sea (ITLOS) yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang ada dalam United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982 diatur pada Annex VI tentang Mahkamah Internasional Hukum Laut atau Internasional Tribunal for the Law Of the sea yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang dibentuk dari adanya United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982.
Mahkamah Hukum Laut Internasional yang berkedudukan di Hamburg Jerman mempunyai tugas untuk menyelesaikan masalah-masalah mengenai interpretasi dan penerapan dari Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Pilihan cara dalam penyelesaian sengketa menurut United Nation Conventions on the Law Of the Sea 1982 terdapat dalam pasal 287 yaitu:

Choice of procedure
1. When signing, ratifying or acceding to this Convention or at any time thereafter, a State shall be free to choose, by means of a written declaration, one or more of the following means for the settlement of disputes concerning the interpretation or application of this Convention:
(a) the International Tribunal for the Law of the Sea established in accordance with Annex VI;
(b) the International Court of Justice;
(c) an arbitral tribunal constituted in accordance with Annex VII;
(d) a special arbitral tribunal constituted in accordance with Annex VIII for one or more of the categories of disputes specified therein.
2. A declaration made under paragraph 1 shall not affect or be affected by the obligation of a State Party to accept the jurisdiction of the Seabed Disputes Chamber of the International Tribunal for the Law of the Sea to the extent and in the manner provided for in Part XI, section 5.
3. A State Party, which is a party to a dispute not covered by a declaration in force, shall be deemed to have accepted arbitration in accordance with Annex VII.
4. If the parties to a dispute have accepted the same procedure for the settlement of the dispute, it may be submitted only to that procedure, unless the parties otherwise agree.
5. If the parties to a dispute have not accepted the same procedure for the settlement of the dispute, it may be submitted only to arbitration in accordance with Annex VII, unless the parties otherwise agree.
6. A declaration made under paragraph 1 shall remain in force until three months after notice of revocation has been deposited with the Secretary-General of the United Nations.
7. A new declaration, a notice of revocation or the expiry of a declaration does not in any way affect proceedings pending before a court or tribunal having jurisdiction under this article, unless the parties otherwise agree.
8. Declarations and notices referred to in this article shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations, who shall transmit copies thereof to the States Parties .

tahap awal dalam pengajuan sengketa ke hadapan Mahkamah Laut Internasional adalah :
(1). Kedua Negara yang bersengeketa sepakat untuk mengajukan masalah tersebut kehadapan Mahkamah Hukum laut
(2). Mengajukan nota atau persetujuan tertulis kepada Mahkamah Hukum Laut
Setelah para pihak melakukan tahapan tersebut maka Mahkamah Hukum Laut melakukan upaya-upaya sementara terhadap wilayah yang disengketakan agar tidak terjadi kerusakan-kerusakan baik lingkungan juga untuk menghindari terjadinya perang di daerah yang di sengketakan.
Dalam sengketa Blok Ambalat sebagai negara yang bersengketa Indonesia dengan Malaysia harus mengajukan sengeketa ini kehadapan ITLOS karena masalah ini sudah berlangsung sejak Tahun 1979 diawali dengan keluarnya Peta sepihak dari Negara Malaysia yang memasukkan wilayah Blok Ambalat kedalam wilayah negaranya dengan cara menarik garis pangkal pulau-pulau terluar yang dilakukan oleh Negara kepulauan sedangkan Malaysia bukan merupakan Negara kepulauan, dan ijin ekplorasi sepihak dari Perusahaan minyak Petronas Malaysia di kawasan Blok ini sedangkan klaim terhadap eksplorasi blok ini sudah di pegang Indonesia sejak Tahun 1960.
Masalah yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia ini merupakan yurisdiksi dari ITLOS karena berkaitan dengan UNLOS’82 yang telah ratifikasi oleh kedua Negara dan jika sudah diratifikasi merupakan hukum bagi Negara yang telah meratifikasi. Namun jika antara Indonesia dengan Malaysia belum mengajukan Masalah ini kehadapan Mahkamah Laut Internasional maka Mahkamah tidak berhak ikut dalam sengketa ini.
Pada saat ini pemerintah Indonesia dan Malaysia masih dalam tahap penyelesaian sengketa secara damai dengan jalan perundingan atau negosiasi agar dapat menemukan penyelesaian sengketa batas landas kontinen dikawasan blok ambalat antara Indonesia dengan Malaysia. Jika dalam tahap perundingan ini dicapai kesepakatan antar kedua negera untuk memasukkan sengketa ini kehadapan Mahkamah laut Internasional dan ada keputusan tetap dari Mahkamah Laut Internasional yang mengikat dan harus dipatuhi oleh kedua Negara yang bersengketa maka keputusan dari Mahkamah laut Internasional dapat dijadikan Yurisprudensi dalam menyelesaikan masalah sengketa di landas kontinen yang dialami Negara lain.

















BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian penulis mengenai masalah sengketa di kawasan Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia dapat disimpulkan beberapa hal yaitu:

1. Indonesia dan Malaysia merupakan Negara di wilayah asia tenggara yang masih merupakan satu rumpun serta mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Karena hubungan histories itulah seharusnya Indonesia dan Malaysia mampu menjaga hubungan baik antar Negara. Munculnya sengketa di kawasan Blok Ambalat mengenai kepemilikan kawasan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dan Malaysia memburuk, dari hasil penelitian penulis ada dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya sengketa di kawasan Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia yaitu:
a. Batas wilayah di kawasan Blok Ambalat yang belum jelas
b. adanya kandungan Sumber Daya Alam di Kawasan Blok Ambalat

2. Dalam penyelesaian sengketa hukum Internasional ada dua cara penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh Negara – Negara yang sedang bersengketa yaitu
a. Penyelesaian sengketa secara damai
b. Penyelesaian sengketa dengan cara kekerasan
Dalam kasus sengketa dikawasan Blok ambalat antara Indonesia dan Malaysia ada beberapa alternative penyelesaian sengketa yang dapat digunakan yaitu:
a. Konsiliasi
b. Internasional Tribunal for the Law Of the Sea (ITLOS)
c. Mahkamah Arbitrase
dari beberapa alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan oleh kedua negara maka jalur penyelesaian sengketa yang baik dalam menyelesaikan sengketa di kawasan Blok Ambalat ini adalah dengan mengajukan masalah sengketa ini kehadapan Mahkamah Laut Internasional Atau Internasional Tribunal for the Law Of the sea (ITLOS).

B. SARAN
Bagi pemerintah, agar dapat lebih memperhatikan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan supaya wilayahnya tetap utuh dan tidak terancam oleh Negara lain, agar pemerintah dapat mempertegas garis batas wilayah antar Negara yang bedampingan maupun berhadapan terutama pada wilayah laut, selama ini wilayah terluar dari Negara ini sedikit terabaikan oleh pemerintah sehingga banyak muncul sengketa yang berada diwilayah perbatasan terutama perbatasan laut dengan Negara yang lautnya berhadapan atau berdampingan.



DAFTAR PUSTAKA

Literatur


Boer Mauna, 2005, Hukum Internasioanal, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung


Chairul Anwar,1989, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta


F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, 2010, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta


Heru Prijanto, Hukum Laut Internasional, 2007, Bayumedia, Malang


Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, 2004, Sinar Grafika Offset, Jakarta


Kurnia ida, Rezim Hukum Landas Kontinen, 2007, Diadit Media, Jakarta


I Wayan Parthiana, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Internasional, 2005, Mandar Maju, Bandung


Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, 1983, Agkasa Offset, Bandung


Mahendra Putra Kurnia, Hukum Kewilayahan Indesia(dasar lepasnya pulau sipadan-legitan dan konsep pengelolaan pulau-pulau terluar NKRI), 2008, Bayu Media, malang



Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, 2006, UI Press, Jakarta



Undang-Undang


Undang-Undang Dasar 1945


Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia


Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 Tentang Lalu Lintas damai di Perairan Pedalaman Indonesia


United Nation Conventions On the Law of the Sea 1982


Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia Relating to the Delimitation of the Continental Shelves Between the Two Countries 1969





















Internet


Jawahir Thonthowi, 2010, Hubungan diplomatik Indonesia Malaysia, http://www.wordpress.com.

Guratman. Selasa 15 Maret 2005. Wawancara dengan Lektor Kepala pada Fakultas Hukum Universitas Malang. http://www. Surya.co.id

Rivai Ras, Abdul. Senin 7 Maret 2005. Gelar Kekuatan Laut Ambalat, Analisis Dirjend Strategi Pertahanan DEPHAN.
http://www.Media Indonesia. co.id.

http://www.google.co.id/imglanding?q=peta%20indonesia&imgurl=http://www.biak.go.id/poplink/peta_indonesia.jpg&imgrefurl=http://www.biak.go.id/poplink/peta_indo.html&h=341&w=693&sz=44&tbnid=YYg0p9AJlzATFM:&tbnh=68&tbnw=139&prev=/images%3Fq%3Dpeta%2Bindonesia&zoom=1&q=peta+indonesia&hl=id&usg=__G8zLHSI5_AD1q2wsaGu_LS_Wz4=&sa=X&ei=8RD2TOTDJ8rKrAfakKGFBw&ved=0CDEQ9QEwBA&start=0#tbnid=R6by5i_SZOL_cM&start=1


http://www.google.com// Sumpah Palapa Cikal Bakal Gagasan NKRI, diakses pada 16 maret 2009 jam 20.30 Wib


http://news.antara.co.id/berita/1246027380/menlu blok ambalat itu hak berdaulat Indonesia, diakses pada 30 oktober 2010 jam 20.50 Wib.


http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/16/0447424/ Krisis Ambalat dan agen, diakses pada 02 januari 2011, diakses pada 12.01 Wib.













Jurnal
Rosmi Hasibuan, Tinjauan Konflik Indonesia dengan Malaysia tentang kepemilikan Hak Berdaulat atas Blok Ambalat dan Ambalat Timur, Jurnal Equality, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005


I Made Andi Arsana, Menuju penyelesaian Ambalat: sebuah kajian Teknis dan Yuridis,Australian National Centre for Ocean Resources and Security (ANCORS), wollonggong university, 2009


Umar Termansyah,Strategi Penguatan Penegakan Kedaulatan Wilayah Negara Di Laut Dalam Rangka Menanggapi kejahatan Dan Pelanggaran Di Wilayah Perairan Nusantara, Buletin Litbang dephan(Online), Vol. 9 Nomer 17 Tahun 2006


Agoes R. Etty, Praktek Negara-Negara atas Konsepsi Negara Kepulauan, Jurnal Hukum Internasional Vol. 1





Skripsi


Tito Yustisian Pratama, Urgensi Delimitasi Perairan Republik Indonesia dengan Negara Tetangga Berdasarkan UNCLOS 1982 ( Studi Delimitasi Perairan Indonesia – Timor Leste), Skripsi Tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2010,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar